07 Mei 2017

Ulasan Buku: Carisa dan Kiana

Judul : Carisa dan Kiana
Pengarang : Nisa Rahmah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2017
Dibaca : 26 April 2017 (via SCOOP)
Rating : ★★★★

Harap-harap cemas. Begitulah yang dirasakan saat membaca buku debut. Meluangkan waktu untuk coba menikmati kisah dari penulis yang sama sekali belum tahu keabsahan tulisannya memang tantangan tersendiri. Kamu harus mengorbankan waktu bersama buku-buku karya penulis favoritmu demi mengetahui apakah karya pertama penulis itu masuk dalam radar kesukaanmu atau tidak. Perasaan harap-harap cemas itu semakin menjadi jika mengetahui bahwa penulis buku debut itu adalah temanmu. Tentu ada rasa tidak enak jika kamu mengetahui bahwa buku itu tidak kamu sukai. Bilang jujur, salah. Bilang tidak jujur, juga salah. Aku rasa perasaan harap-harap cemas juga melingkupi penerbit. Mereka benar-benar seperti melempar sebuah dadu dengan karya-karya debut. Seperti bermain judi, penerbit juga harus mengantisipasi kalau-kalau buku debut penulis itu tidak terlalu diminati pasar karena toh pada akhirnya penerbit juga melihat sisi bisnis dari buku yang diterbitkannya. Tapi, aku rasa tidak perlu khawatir dengan buku yang satu ini.

***

Carisa amat bisa bersosialisasi. Sejak kelas X SMA, ia sudah ikut berbagai macam organisasi di sekolahnya. Salah satunya OSIS. Melalui OSIS jugalah ia dekat dengan Rama. Dan menjadi semakin dekat setelah Rama mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS. Carisa bahkan menjadi pentolan tim sukses yang memiliki gagasan-gagasan cerdik dalam upaya memenangkan Rama. Berbeda dengan Carisa, Kiana lebih pandai dalam bidang akademis. Kiana adalah ketua ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Ia juga jagoan sains di SMA-nya. Sebenarnya, Kiana tidak peduli dengan pemilihan ketua OSIS. Hanya saja, teman dekatnya, Stella, adalah pacar Rico. Rico merupakan satu-satunya kandidat dalam pemilihan ketua OSIS yang berhadapan dengan Rama. Hal itu membuat Kiana harus berurusan dengan Carisa. Namun, ternyata, urusan mereka berdua tidak hanya sebatas masalah pemilihan ketua OSIS. Urusan Carisa dan Kiana lebih dari itu.

***

Aku harus katakan bahwa menghabiskan semalaman dengan buku ini adalah hal yang menyenangkan. Sama sekali tidak ada ekspektasi apa pun selain penulis adalah teman dunia maya dan satu komunitas. Harap-harap cemas kala mencoba novel debut memang ada namun setelah membaca lebih banyak ternyata aku bisa menikmati kisah Carisa dan Kiana. Mungkin kamu merasa skeptis, "Wah, pasti gara-gara penulisnya teman kamu, jadi kamu memuji-muji bukunya!" Yah, siapa peduli? Aku memiliki alasan kuat untuk membuat buku ini patut dipuji, pada akhirnya. Dengan ketebalan hanya 200 halaman lebih sedikit, membacanya hanya dalam sekali duduk plus tiduran di malam hari adalah mudah. Sebagai novel teenlit, gaya bahasanya tetap ringan dan amat remaja. Karakteristik anak SMA yang egois namun lugu dan merasa dirinya paling benar juga terlihat dan membuat kisah di dalam buku ini menjadi hidup dan lebih dari biasa-biasa saja. Dari segi isi, aku katakan bahwa untuk ukuran debut, buku ini menjanjikan. Dan aku berkeinginan membaca karya-karyanya selanjutnya.

Salah satu yang kusuka dari buku ini adalah bagaimana penulis bisa memisahkan sudut pandang antartokohnya, mengingat sudut pandang orang ketiga itu amat sulit bila dibagi per tokoh. Buku ini disampaikan oleh narator yang paling tahu karakter Carisa dan juga Kiana. Keduanya bergantian menceritakan bagian mereka. Kupikir, pembagian cerita di antara keduanya itu penting karena mereka sama-sama krusial dalam penjelasan kisah masing-masing dan bagaimana mereka berdua dipertemukan dengan takdir yang melilit mereka. Dengan sudut pandang orang ketiga, penulis punya keleluasaan untuk tidak hanya bercerita tentang tokoh dan perasaannya saja, tetapi juga unsur-unsur ekstrinsik cerita. Dan kesemuanya itu bisa penulis batasi dengan cermat. Selama membaca, aku selalu bisa melihat corak narasi dari masing-masing tokoh, seperti Carisa yang terlihat acuh dan Kiana yang memakai bahasa yang jarang digunakan di kehidupan sehari-hari. Cobalah baca dan kamu akan paham apa yang kumaksud.

Edited by Me

Aku juga menyukai betapa kisah Carisa dan Kiana amat realistis terlepas dari segala macam hal-hal mengejutkan di dalamnya. Aku tidak akan bilang plot twist-nya sungguh dapat dan mungkin akan memengaruhi penilaianku akan buku ini jika saja plot twist itu tidak ada. Carisa dan Kiana tidak kembar. Usia mereka sebenarnya berjarak satu tahun dan mereka sama sekali tidak saling mengenal sampai mereka SMA. Bahkan di SMA pun mereka saling benci. Bagai cewek alfa yang saling memiliki kekuatan tersembunyi, mereka bagai dua kutub yang sama yang tidak akan pernah menyatu. Hingga satu kejadian menimpa keduanya dan takdir pahit mulai membeberkan rahasia mereka. Awalnya mereka tidak terima dengan takdir itu. Malah semakin membesarkan api benci di antara keduanya. Namun, lama-kelamaan, mereka mulai menyadarinya dan harus menerima takdir pahit. Bagusnya, mereka dapat memutarbalikkan persepsinya. Di situlah buku ini mengambil tempat. Tentang proses menerima.


Hanya itu? Tidak! Masih ada hal yang paling kusuka dari buku ini. Bab pementasan musikalisasi puisi! Aku sama sekali tidak tahu-menahu soal musikalisasi puisinya. Blurb di sampul belakang buku pun tidak memberikan petunjuk. Bisa dikatakan sebuah kejutan. Walaupun hanya sekali melihatnya, aku suka pementasan musikalisasi puisi. Bayangkan kamu melihat seseorang membacakan puisi dengan kertas disangga di hadapannya. Ia melakukannya dengan diiringi petikan gitar. Tak asal membaca, ia harus mengikuti irama yang keluar dari gitar dan memadukannya secara ritmis. Lalu kamu akan tenggelam dalam momen-momen yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya. Begitulah musikalisasi puisi. Ajaibnya, aku bisa merasakannya juga dalam buku ini. Penulis berbakat dalam menarasikan adegan demi adegan musikalisasi puisi dan membuatnya mudah dibayangkan. Sebuah kelebihan yang harus diacungi jempol. Dan kamu tahu puisi siapa yang terceritakan dalam buku ini? Puisi-puisinya Sapardi Djoko Damono! Jika kamu bertanya puisinya yang mana, aku akan jawab: cari tahu saja sendiri.

Unsur lokal dan mancanegara jadi satu? Buku ini salah satu penganutnya. Selain musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, penulis juga memberikan unsur kebarat-baratan: melalui OneRepublic, sebuah grup band asal Amerika Serikat bergenre pop rock. Salah satu lagu paling populernya, "Counting Stars", menjadi lagu favorit ayahnya Kiana. Lagu itu juga memiliki peran krusial dalam kisah Carisa dan Kiana. Salah satu bait liriknya berbunyi: But baby, I've been, I've been praying hard / Said no more counting dollars / We'll be counting stars. Bila diperhatikan lagi, lagu ini juga cocok untuk Carisa dan Kiana yang pada akhirnya menerima dan merasa bersyukur. Biar kuberi tahu juga: OneRepublic merupakan salah satu grup musik yang lagu-lagunya sering kuputar. Jadi, alasan yang terkesan subjektif? Untuk yang ini, aku tidak akan berdalih.

Usaha tidak akan mengkhianati takdir, ujar seorang teman kepadaku. Dalam wawancara bersama penulis beberapa waktu yang lalu, aku menemukan lagi bagaimana usaha penulis untuk menyisihkan waktu menulis yang merupakan passion-nya membuahkan hasil. Buku ini dikarangnya dalam waktu setahun. Pedoman penulis yang tetap mempunyai target dan konsisten terhadap target itu membuat impiannya menerbitkan buku tercapai. Takdirnya telah tertulis. Begitu juga dengan takdir Carisa dan Kiana yang mengharuskan mereka belajar untuk menerimanya dan melihatnya sebagai hal yang positif, walaupun takdir itu terlihat begitu negatif. Sebuah novel remaja yang tidak hanya bercerita tentang percintaan. Tidak hanya remaja, buku ini patut dibaca oleh siapa saja yang sedang ragu untuk menerima dan berpasrah akan kehidupannya.

"Bukan hanya kata yang menjadikan cinta tetap ada, tetapi dengan tindakan yang akan membuat cinta melekat selamanya." (hal. 197)

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Debut Authors.

2 komentar :

  1. Dan ku jadi penasaran :')
    Pengen coba-coba ikut kuis book tournya ah, barangkali ada yang nyangkut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kalau nggak menang book tour-nya, bisa beli aja di toko buku. Harganya bisa pake uang jajan yang disisihkan selama seminggu kok.

      Hapus