06 September 2016

Ulasan Buku: Me Before You

Judul Asli : Me Before You
Pengarang : Jojo Moyes
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Dibaca : 4 September 2016
Rating : ★★★

"Secara umum saja. Aku tidak memintamu melakukan psikoanalisis terhadap dirimu. Aku hanya bertanya, apa yang kauinginkan? Menikah? Melahirkan beberapa bocah? Karier impian? Keliling dunia?" (hal. 117)

Membaca ternyata tidak hanya untuk rekreasi. Buku ini membuktikan bahwa membaca itu menelusuri hal baru tanpa ekspektasi. Bagiku, membaca buku ini merupakan pencapaian besar karena selain jumlah halaman yang tidak tanggung-tanggung (600 halaman lebih). Karya terbaik dan terpopuler Jojo Moyes ini juga bergenre roman dewasa yang mana tidak pernah kusentuh barang sehalaman pun. Jadi, bagaimana Raafi bisa sampai menyelesaikannya? Simak penuturannya berikut.

***

Will Traynor, eksekutif sukses yang seharusnya bangga akan dirinya, mengalami kecelakaan yang membuat bagian dada ke bawah lumpuh total dan hanya satu tangannya yang bisa bergerak namun itu pun terbatas. Setelah begitu lama berada dalam keadaan yang begitu menyedihnya, akhirnya Will memberikan waktu enam bulan kepada siapa pun. Setelah itu, ia akan mengakhiri hidupnya.

Louisa Clark dikontrak selama enam bulan oleh keluarga Traynor untuk menjaga dan menemani Will. Tahu periode tersebut adalah batas waktu Will berangkat ke Swiss untuk meninggalkan dunia, Lou memohon kepada Camilla dan Steven Traynor untuk mengusahakan segala cara agar Will mengubah keputusannya. Apakah jerih payah Lou terbayar?

***

Setelah menutup buku ini, aku langsung menonton filmnya. Karena aku berada dalam tim baca-bukunya-baru-tonton-filmnya, aku bertekad untuk menyelesaikannya terlebih dahulu. Film selesai dan aku coba membahas bersama salah satu teman tentang kisah Lou dan Will. Dengan lawaknya, dia bilang bisa saja Lou itu bersifat materialistis seperti kebanyakan wanita lainnya. Ketika melihat kesempatan untuk terus bersama-sama dengan pria kaya, ia tak akan pernah melewatkannya. Dan begitulah hingga Lou bisa mendapatkan harta Will. Lalu kami tertawa bersama. Tentu Lou tidak begitu, sungguh bahasan yang konyol. Tapi kami tetap terbahak-bahak membayangkannya.

Louisa Clark

Aku merasa menang. Sungguh. Akhirnya buku ini bisa dikembalikan kepada si empunya setelah berbulan-bulan kupinjam. Ada rasa tidak enak dan malu saat menyadari hal itu, tapi mau bagaimana? Aku harus benar-benar niat untuk membaca buku bertempo lambat ini. Aku harus terus-menerus merasakan isi hati Lou yang begitu kompleks.

Walaupun begitu, pendekatan yang begitu berwaktu antara Lou dan Will membuatnya terasa apa adanya dan tidak dibuat-buat. Saat terjadi jeda membaca yang cukup lama karena bosan dengan alurnya, malah tebersit rasa rindu dengan kedua karakter inti tersebut. Mungkin banyaknya halaman yang menceritakan mereka berdua hingga detail memberikan efek magis bagi para pembaca. Saat aku menulis ulasan ini saja (dua hari setelah membaca) aku masih ingat ketika Lou dan Patrick memutuskan hubungan mereka; saat Patrick menyiapkan makan malam yang hanya salad dan mengetahui dokumen liburan Will yang dibawa Lou.

Aku juga ingat ketika Lou berada di labirin di kastil. Ia merasa tidak tahan dan berteriak minta tolong. Will dengan mudah menemukannya karena ia paham betul dengan seluk-beluk labirin itu sedari kecil. Hingga akhirnya Lou menceritakan sebab dari ketakutannya itu. Oh dan mungkin bagian inilah yang aku suka dari keseluruhan cerita. Namun adaptasi filmnya tidak memberikan bagian yang ini dan sungguh disayangkan. Padahal bagian itulah yang krusial; tentang penjelasan Lou yang tidak mau pergi ke mana-mana kecuali dalam kota kecilnya saja.

Will Traynor

Mengakhiri buku ini berarti mengerti juga betapa hak setiap individu itu berharga. Betapa pun seseorang berusaha untuk menghindarkan orang lain dari terjerumus lubang tidak baik, hal itu malah menandakan bahwa ia tidak menghargai orang lain tersebut. Mengerti kan? Seperti ketika kau berusaha untuk mengajak pacarmu ke sebuah tempat yang ia tidak mau mendatanginya karena ia tidak suka tetapi kau tetap mengusahakan kehendakmu. Aku yakin hanya kesedihan yang akan merundung pacarmu itu kala tiba di tempat tersebut. Kecuali kau tidak punya pacar, maka kau tidak akan mengalaminya. Haha. Bercanda.

Aku bahkan masih ingin mengetik panjang lebar; masih banyak yang ingin kujabarkan tentang buku epik ini. Seperti betapa noraknya Lou dengan pakaiannya dan betapa Will itu pria yang akan digandrungi banyak cewek bilamana ia tidak menggunakan kursi rodanya. Dan betapa Lou dan Will tidak bertemu kalau semuanya tidak terjadi. Namun aku harus mengakhiri ini karena siapa yang sudi membaca ulasan panjang lebar? Oh, satu lagi. Aku berterima kasih kepada Jojo Moyes yang telah membuat cerita serumit ini.

"Aku tidak tahu apa yang ada di otakku. Aku hanya tahu bahwa hampir sebagian besar waktu, aku lebih suka berada bersamanya daripada siapa pun yang kukenal." (hal. 499)

3 komentar :

  1. Aku masih menunggu antrean buat baca buku ini Raaf.. Lagi nyelesein Attachments-nya Rainbow Rowell. Udah ngerasa sih kalo bukunya pasti jauuuh lebih nyess dari filmnya (as always yaaa kalo buku dibikin film kecuali LOTR mungkin).
    Aku bilang, kelebihan novel-novel luar negeri yang kurang dimiliki novel Indonesia tuh di detail karakternya ya ga sih, yang bisa berasa nyata dan deket sama pembaca. Bahkan kisah romance pun bisa berkesan dalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm. Bukan underestimating novel lokal sih, tapi memang yang dikatakan Mbak Nana tidak bisa kusanggah. Bagian pendalaman materi (riset) yang harus diacungi jempol yang masih sedikit penulis pribumi lakukan. Ayo Mbak, buruan dibaca! Hahaha.

      Hapus
  2. Aku suka filmnya karena lemah banget kalau berurusan dengan Sam Claffin dan pesonanya yang bikin hati kebat kebit #ups. Bukunya belum selesai dibaca karena tebalnya yang ngalah2in kamus. Inti komen ini adalah aku harus segera menyelesaikan membaca buku ini, hehehe :D

    BalasHapus