08 Februari 2015

Happily Ever After

Sampul
Judul : Happily Ever After
Pengarang : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tahun : 2014
Dibaca : 4 Februari 2015
Rating : ★★★★

Novel lokal pertama yang kubaca pada tahun 2015. Hore! Jarang-jarang aku membaca novel karya penulis pribumi pada awal-awal tahun seperti ini. Dan aku terkesan dengan tata bahasanya yang rapi dan indah.

Yang aku tahu, bahasa yang digunakan dalam novel oleh penulis lokal terdiri atas dua macam yaitu bahasa baku dan bahasa sehari-hari. Bahasa baku digunakan sebagai bahan narasi sedangkan bahasa sehari-hari atau bisa disebut bahasa gaul digunakan pada dialog. Contoh: “tidak” (bahasa baku) dan “nggak” (bahasa sehari-hari); “menulis” (bahasa baku) dan “nulis” (bahasa sehari-hari).

Keduanya biasanya saling salah tempat. Kata-kata gaul sering terselip pada narasi yang notabene sudah menggunakan bahasa baku, begitu pula sebaliknya. Hal ini membuat ketidakkonsistenan tata bahasa pada sebuah novel yang mengurangi kesempurnaan penilaian pembaca.

Memang rumit untuk merumuskan mana yang merupakan bahasa baku dan mana yang bahasa sehari-hari. Sebenarnya mudah saja, kata-kata yang termasuk bahasa baku selalu terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia sedangkan bahasa sehari-hari tidak. Penting bagi penulis maupun editor bersanding dengan buku tebal itu untuk mengetahui kata-kata baku dan tidak. 

Domed Reading Room at State Library of Victoria
Nah, kenapa aku menjelaskan panjang lebar mengenai tata bahasa? Karena aku baru saja selesai membaca sebuah novel dengan tata bahasa yang sempurna. Novel yang bisa menempatkan bahasa baku dan bahasa sehari-hari dengan tepat dan rapi. Aku bertanya-tanya seberapa keras kerja penulis dan editor meramu tulisan yang kemudian menjadi novel bernama Happily Ever After.

***

Novel ini bercerita tentang seorang gadis berusia 16 tahun yang melalui hari-hari sekolahnya dengan masalah-masalah yang dianggapnya terlalu sulit. Lulu merupakan murid yang tidak populer, walaupun bidang otaknya cemerlang tetapi bidang pertemanannya tidak berjalan mulus. Dia selalu dikucilkan oleh teman-temannya karena gaya pakaiannya yang aneh. Ini masalah yang pertama.

Masalah yang Lulu anggap sulit selanjutnya adalah sakit yang diderita ayahnya. Sang ayah yang selalu membacakannya dongeng setiap sebelum tidur, sang ayah yang selalu membangunkannya dengan secangkir kopi bila kesiangan, sang ayah yang bekerja sebagai tukang kayu. Lulu begitu sedih melihat sang ayah memiliki kartu kematian yang ditentukan oleh penyakit bernama kanker.

Masalah selanjutnya adalah persahabatan Lulu dengan Karin yang kandas karena seorang pemain band tampan bernama Ezra. Kemudian, masalah tentang pertemuan tidak sengaja Lulu dengan seorang laki-laki tak berambut bernama Eli. Oke, yang terakhir sepertinya lebih pada hal-yang-belum-dimengerti-oleh-gadis-seusia-Lulu daripada disebut masalah.

***

Kanker dan dongeng. Dua hal berbeda yang kental pada novel ini. Seperti koin yang sama dengan dua sisi yang berbeda. Keduanya saling melengkapi. Banyak istilah-istilah medis dan penyakit-penyakit turunan kanker dijelaskan secara gamblang pada novel ini. Tidak sedikit pula buku-buku klasik karya penulis kenamaan tersebut di dalamnya. Ada juga beberapa cuplikan menyerupai dongeng pada beberapa babnya.

Mort Rainey (Johnny Depp)'s House in Secret Window
Sepertinya aku menulis semua hal-hal baik tentang novel ini, tetapi kenapa aku tidak memberinya sempurna secara keseluruhan? Karena, jujur saja, aku tidak suka dengan beberapa adegan “syur” antara Lulu dengan … emm ... ada deh. Mengingat usia Lulu yang masih dibilang di bawah umur, sepertinya adegan itu terlalu kebarat-baratan dan tidak sesuai dengan norma yang kita anut.

Secara garis besar, novel ini mengingatkan kita kembali pada hidup yang hanya sekejap dan kita harus menggunakannya sebaik-baiknya. Bagaimana peran kita untuk orang-orang terdekat yang kita sayangi sangat dibutuhkan untuk tetap hidup. Aku cukup puas pada novel ini.

“’Setiap individu pada dasarnya berbeda satu sama lain. Tapi, banyak orang cenderung menutupi keunikan mereka agar bisa serupa dan sesuai dengan orang lain, agar bisa diterima oleh masyarakat.’ Aku pernam membacanya dalam buku; teori konformitas yang diungkapkan oleh Jon M. Shepard.” Lulu (hal.45)

Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2015.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar