12 Mei 2017

Karya-karya Paul Arden yang Mengalihkan Duniaku

Edited by Me

Bagi sebagian pembaca, pengetahuan tentang pengarang memengaruhi seberapa antusias mereka untuk membaca karyanya. Aku pernah begitu. Saat di toko buku, aku tidak melepaskan gadgetku yang terkoneksi internet untuk mencari tahu siapa pengarang dari setiap buku yang kupegang, walaupun tidak kubeli sekalipun. Tapi, biar kuberi informasi: aku mudah bosan. Aku tidak akan tahan dengan satu genre bacaan dalam durasi waktu tertentu kecuali bacaan tersebut adalah serial atau memang membuatku ketagihan. Seperti selama bulan Mei ini, aku membaca dari fiksi anak-anak, novel sastra, puisi, sampai nonfiksi. Itu menandakan aku suka mengeksplorasi jenis bacaanku. Bagaimana bisa bereksplorasi kalau harus mengetahui pengarang buku yang akan dibaca? Bagai sebuah kontradiksi. Aku sudah tidak pernah lagi mengecek si pengarang buku untuk buku yang akan kubaca karena melakukannya bagai membeberkan kejutan yang menyenangkan.

Siapa Paul Arden? Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebulan yang lalu. Aku bahkan akan berbalik tanya atau mungkin akan acuh tak acuh. Siapa peduli tentang Paul Arden? Hingga salah satu karyanya berada di halaman Beranda Goodreads paling atas karena seorang teman sedang membacanya. Aku penasaran. Semesta bagai mengalihkan perhatianku pada buku itu. Dan tepat pada detik ini, aku sudah membaca dua buku karyanya. Bagaimana bisa seseorang yang tidak kukenal memberikan dampak yang tidak sedikit untukku? Dua karyanya telah mengambil beberapa jam waktuku. Dua karyanya yang begitu khas juga telah memberiku pandangan baru tentang melihat hal-hal kecil yang dimiliki oleh diriku sendiri. Bagai orang asing yang masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu, Paul Arden memberikan bekas yang signifikan pada pemikiranku. Sudah saatnya aku mencari tahu siapa itu Paul Arden.

Aku terperengah saat mengetahui Paul Arden sudah berpulang lebih dari lima tahun yang lalu. Bahkan ia lahir beberapa tahun sebelum nenekku lahir. Lalu, aku teringat kutipan terkenal dari Pramoedya Ananta Toer. Ia mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Aku percaya hal itu terjadi pada siapa saja yang menulis. Juga pada Paul Arden dengan karya-karyanya. Dua karyanya yang kubaca adalah "It's Not How Good You Are, It's How Good You Want To Be" dan "Whatever You Think, Think the Opposite". Dan mendapatkan keduanya memiliki kisahnya masing-masing. Aku mengulasnya dalam satu pos ulasan namun aku harus tetap membagi dengan porsinya dan perihal-pandangan-baru-yang-kusebutkan-di-atas secara sendiri-sendiri. Mari mulai dengan karya Paul Arden yang pertama kubaca.


Judul : It's Not How Good You Are, It's How Good You Want To Be
Pengarang : Paul Arden
Penerbit: Phaidon Press
Tahun : 2007
Dibaca : 7 Mei 2017
Rating : ★★★


"The most popular conception of creativity is that it's something to do with arts. Nonsense. Creativity is imagination, and imagination is for everyone." (hal. 121)

Aku bungah ketika menemukan buku ini pada salah satu tumpukan buku nonfiksi di acara bazar buku Big Bad Wolf beberapa waktu lalu. Salah satu alasanku untuk datang ke acara tersebut adalah untuk mencari buku ini. Coba bayangkan! Aku yang begitu fiksi ini berniat menuju suatu lokasi untuk mencari sesuatu yang tidak fiksi! Semenjak membaca buku-buku Austin Kleon, aku jadi tertarik dengan buku-buku sejenis. Dan aku mengira-ngira karya-karya Paul Arden sebelas-dua belas dengan karya-karya Austin Kleon. Setelah mendapatkan buku ini, aku langsung membacanya saat perjalanan pulang. Berbahasa Inggris, aku khawatir tidak akan mendapatkan inti sari buku ini. Tapi, peduli amat dengan inti sari? Seperti yang Austin Kleon katakan, kamu bisa mengambil hal-hal yang kamu perlukan dari sebuah buku dan membuang hal-hal yang menurutmu tidak perlu. Jadi, aku juga menerapkannya pada buku ini.

Tata letaknya begitu khas. Kamu tidak akan melihat keteraturan pada buku ini, namun pola. Sebisa mungkin Paul Arden memberikan gambar ilustrasi atas apa yang dijabarkan pada buku ini yang kurasa penting. Esensi yang sebenarnya dibicarakan oleh sang pengarang disimbolkan melalui gambar ilustrasi. Pewarnaannya juga khas. Putih, hitam, dan merah menjadi warna dominan pada buku ini. Sebenarnya, dari sampul bukunya dengan judul yang panjang namun terlihat simpel tanpa gambar dan warna-warna mencolok saja sudah memberikan ciri khas tersendiri. Lalu, pandangan baru apa yang kudapatkan dari buku ini?

Bagai seorang penyelamat, buku-buku motivasi selalu memberikan optimisme tingkat tinggi dengan kata-kata penyemangat dan begitu banyak adjektiva sebagai tujuan utama. Sungguh mulai memang, tapi mereka sama sekali tidak membantu. Salah satu alasan yang dikemukakan Indiatimes.com dan aku setuju dengannya adalah bahwa buku-buku semacam itu tidak akan mengubah satu kehidupan pun. Namun, berbeda dengan buku ini. Buku ini tidak menggembar-gemborkan semangat. Buku ini lebih banyak berisi pertanyaan dan hal-hal yang (kelihatannya) tidak memotivasi. Salah satu pertanyaannya adalah: "Seberapa bagus apa yang kau inginkan?" Salah satu hal yang (kelihatannya) tidak memotivasi adalah tentang kesalahan yang harus kamu emban sendiri. Dua hal itu juga yang memberiku satu kesimpulan bahwa untuk menjadi apa yang kamu inginkan, kamu tidak perlu membuat sesuatu yang cemerlang. Kamu harus melihat potensi yang kamu miliki di dalam dirimu. Buatlah kesalahan-kesalahan dan bertanggungjawablah atas kesalahan yang kamu buat.

Secara garis besar, buku ini memberikan pecutan untuk kamu bertindak dari apa yang kamu bisa; potensi yang kamu punya. Buatlah kreativitas dengan potensi itu. Dan dari potensi itu, kamu bisa menakar seberapa besar impian yang ingin kamu capai.

Judul : Apa Pun yang Anda Pikirkan, Berpikirlah Sebaliknya
Judul Asli : Whatever You Think, Think the Opposite
Pengarang : Paul Arden
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
Dibaca : 11 Mei 2017
Rating : ★★★

"Masalahnya bukan karena Anda membuat keputusan keliru melainkan Anda membuat keputusan yang benar. Kita mencoba membuat keputusan-keputusan masuk akal berdasarkan fakta-fakta yang ada di hadapan kita. Masalahnya, semua orang juga membuat keputusan masuk akal." (hal. 23)

Setelah menyelesaikan satu karyanya, aku berkeinginan untuk membaca karya Paul Arden yang lain. Aku sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan di BSD dan berkunjung ke sebuah toko buku langganan yang ada di dalamnya. Tujuanku ke sana adalah bertemu dengan teman komunitas dan tidak berharap membeli buku hingga buku ini muncul secara tiba-tiba di hadapanku. Hanya tersisa dua kopi tidak bersegel dan aku mengambil yang menurutku paling lumayan. Aku kembali bungah setelah melihat harganya yang setelah kucek lebih lanjut hanya setengah dari harga aslinya. Aku langsung membawa ke kasir dan membacanya sembari menunggu temanku tiba. Aku bertanya-tanya bagaimana kalau aku tidak ada rencana untuk bertemu temanku itu. Bagaimana kalau aku tidak betemu di pusat perbelanjaan itu dan aku tidak berkunjung ke toko buku langgananku itu. Ah, semesta memang sukar diprediksi.

Sama seperti "It's Not How Good You Are, It's How Good You Want To Be", buku ini memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Bedanya, tentu saja pada konten di dalamnya. Buku yang kudapatkan ini adalah versi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan pada 2015 dan aku baru tahu kalau karya Paul Arden diterjemahkan. Bahasanya terkesan sedikit aneh namun masih bisa dinikmati, mungkin karena aku membaca pertama kali yang berbahasa Inggris. Tidak butuh waktu lama untuk melahap buku ini karena gambar ilustrasinya lebih dominan.

BBisa dikatakan, buku ini sangat berhubungan denganku yang begitu susah mengontrol diri untuk melakukan hal-hal yang dianggap kurang benar bagi orang lain. Buku ini dimulai dengan kisah Dick Fosbury, seorang atlet loncat tinggi yang melakukan hal aneh dan berbeda namun meraih hasil yang memuaskan. Berbeda dengan atlet loncat tinggi lainnya pada kala itu, Fosbury melakukan teknik dengan meloncat dengan menghadap ke belakang. Melalui kisah Fosbory ini, Paul Arden memberikan gambaran bahwa melakukan hal berkebalikan akan menghasilkan sesuatu yang tak diduga-duga. Terlihat ekstrem memang. Tapi patut dijajal pada hal-hal yang kecil untuk melihat dampaknya terlebih dulu. Selain tentang berlaku kebalikan, buku ini juga menjabarkan tentang selalu menjadi tidak tahu dan bertindak sembrono. Pada salah satu bahasannya, pembaca diajak untuk hidup dalam ketidaktahuan daripada dengan ilmu pengetahuan. Ketidaktahuan memberikan banyak jalan kepada kita untuk menemukan pemecahan masalah secara bergairah. Sebaliknya, dengan ilmu pengetahuan, seseorang akan menghindar dari masalah karena mereka sudah tahu slahnya.

Buku ini memberikan pandangan yang tidak pernah dipikirkan orang kebanyakan: untuk bertindak kebalikan. Dengannya, kamu bisa saja menemukan sesuatu yang akan membuat hidupmu berarti. Dan, tentu saja, ini soal pilihan.

"Dunia ini adalah dunia menurut yang Anda pikirkan. Oleh karena itu, pikirkanlah secara berbeda dan hidup Anda akan berubah." (hal. 138)

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Self-Improvement & Self-Help.

1 komentar :

  1. Interesting ya. Setuju, kadang buku2 self help suka terkesan kebanyakan teori. Aku juga lebih suka kalau kemasannya mengajak kita "mikir" instead of memberikan motivasi atau semangat yang "maksa".

    BalasHapus