02 April 2017

Ulasan Buku: Angan Senja & Senyum Pagi

Judul : Angan Senja & Senyum Pagi
Pengarang : Fahd Pahdepie
Penerbit : Falcon Publishing
Tahun : 2017
Dibaca : 1 April 2017
Rating : ★★★★

"Seandainya orang lain mengetahui bahwa melupakan adalah sebuah kebahagiaan, mereka akan mengerti bahwa mengingat segalanya adalah penderitaan." (hal. 10)

Kami sedang berada dalam satu taksi dan menuju tujuan kami masing-masing ketika rekan kantor yang duduk di sebelahku memberi tahu bahwa dia baru saja membeli sebuah buku. Setelah kupaksa untuk memberi tahu buku apa yang dibelinya, ia mengeluarkan buku terbarunya Fahd Pahdepie itu dari ranselnya. Aku yang memang orangnya suka memaksa kehendak orang lain apalagi yang berhubungan dengan buku langsung memohon-mohon padanya untuk meminjamkan buku itu kepadaku. Dia yang tahu aku suka membaca akhirnya menyerahkan buku itu dan berujar, "Pokoknya Senin harus udah balik ya!" Aku yang ketar-ketir karena berencana ingin membaca buku genre fantasi selama April harus menelan ludah sendiri dan mengiyakan permintaannya. Untungnya, tak perlu waktu lama untuk menyelesaikan buku ini. Aku lega bisa mengembalikan bukunya tepat waktu.

***

Angan Senja sedang duduk di tempat persembunyiannya ketika Senyum Pagi mengagetkannya. Seperti biasa, Angan sedang tidak ingin ikut pelajaran matematika. Ia toh sudah mengerti materi yang diajarkannya itu. Jadi, ia membolos di tempat persembunyiannya itu dengan membaca The Celestine Prophecy karya James Redfield. Kakak kelasnya itu membuatnya tidak nyaman karena, siapa yang tidak kenal Senyum Pagi di seantero sekolah? Cewek yang begitu nyentrik karena selalu salah kostum setiap hari. Hari itu, orang-orang mengenakan seragam putih-putih sesuai peraturan sekolah, namun Senyum Pagi mengenakan seragam putih-abu. Dan itulah kesan pertama Angan Senja terhadap Senyum Pagi yang merasuk ke dalam inti memorinya.

Senyum Pagi keluar dari mobilnya, sebuah Isuzu Panther berpalet silver keluaran terbaru yang kala itu masih jarang terlihat di jalan-jalan Kota Semarang. Ia diantar Pak Pancar, sopirnya yang setia mengantarnya sejak di Taman Kanak-Kanak. Sampai di kelas, teman-temannya sedang ribut karena ada tugas matematika yang harus dikumpulkan hari itu. Dan, tentu saja, Senyum Pagi lupa untuk mengerjakannya. Waktu tinggal beberapa menit lagi sebelum jam masuk sekolah berbunyi dan ia tidak bisa mengerjakan tugasnya dalam waktu sesingkat itu. Ia juga tidak bisa terkena hukuman. Ia harus meloloskan diri dengan cara apa pun. Hingga ia menemukan tempat yang didiami adik kelasnya pagi itu. Angan Senja. Ia memutar otak karena sempat mendengar nama itu sebelumnya. Ah, nama itu yang ada di poster Olimpiade Matematika di mading. Sudah pasti sangat jago matematika. Dan, dari sinilah semuanya bermula.

***

Terlebih dahulu, aku ingin berterima kasih kepada rekan kantorku yang berbaik hati meminjamkan buku ini kepadaku. Tanpanya, mungkin aku takkan mengenal Angan Senja dan Senyum Pagi. Dua tokoh utama dalam kisah romansa yang pelik ini. Aku bilang pelik karena keduanya sudah amat sangat mengerti perasaan masing-masing namun tak kunjung membeberkan faktanya kepada satu sama lain. Dan aku menyebutkan hal tersebut karena bukan inilah inti ceritanya. Inti ceritanya adalah bagaimana mereka hidup dalam kungkungan masa lalu mereka. Kamu bisa melihatnya dari kutipan yang kutempel di atas. Betapa indahnya mengenang masa lalu, bukan? Apalagi kenangan yang bahagia dan penuh harap. Tapi, bagaimana jika masa lalu itu terus mengikutimu ke masa depan—ke masa kini? Itulah yang terjadi pada Angan Senja dan Senyum Pagi.

Cukup untuk kutukan yang harus diemban Angan Senja dan Senyum Pagi. Aku amat menyukai bagaimana masa lalu dan masa kini beriringan diceritakan pada buku ini. Kisah pada buku ini bermula ketika Angan sudah menjadi orang sukses. Dilanjutkan dengan kehidupan Senyum Pagi sebagai orang tua tunggal Senyum Fajar yang amat berbakat dalam memainkan piano. Lalu, cerita masing-masing diselipi dengan masa lalu—masa ketika mereka merajut kenangan-kenangan manis nan bahagia. Biar kutegaskan di sini bahwa maksudnya 'diselipi' adalah kisah masa kini yang di sela-selanya dimasuki bab-bab masa lalu. Metode seperti ini sangat ampuh untuk membangun keterikatan tokoh, juga memberikan kepastian memori yang terjalin di antara para tokoh. Aku harap kamu mengerti penjelasan pada paragraf ini.

Edited by Me

Angan Senja, Senyum Pagi, Embun Fajar. Masih belum cukup? Ada Pancar, Dini, Hari, hingga Subuh. Kata-kata yang kelewat unik untuk dijadikan nama. Bagi sebagian orang, mungkin nama-nama tersebut terlalu aneh dan asing. Awalnya, aku pun merasakan hal yang sama karena, siapa sih yang punya nama seperti itu? Hanya orang tua yang kelewat mencintai bahasa Indonesia yang memberikan nama-nama seperti itu kepada anak-anaknya. Tapi, setelah dipahami lagi, nama-nama itu juga—tak dinyana—indah. Dan, pada Ucapan Terima Kasih penulis di akhir buku ini, aku menemukan bahwa nama Angan Senja dan Senyum Pagi penulis ambil dari nama anak temannya. Sungguh menginspirasi.

Yang menjadi unik pada buku ini adalah keterkaitan antara matematika dan musik. Dua hal yang sepertinya tidak berhubungan sama sekali tapi ternyata ada cercahan yang menyangkutpautkan keduanya. Itu bisa kamu temukan pada buku ini. Ketika perhitungan matematika berubah menjadi tangga nada yang bisa diterapkan pada musik. Tidak hanya dua hal itu, coba perhatikan dengan saksama pada sampul buku ini bentuk yang berada di antara tulisan "Angan Senja" dan "Senyum Pagi". Tahukah simbol apa itu? Bagi yang jago matematika atau yang dahulunya tahu matematika, simbol itu adalah simbol tak terhingga atau infinity. Simbol yang pertama kali disebut-sebut oleh Pagi kepada Angan saat ia mulai menyukai matematika. Dan simbol itulah yang menjadi perekat di antara mereka berdua.

"Aku suka. Seperti angka delapan. Dia nggak pernah putus, tapi membentuk dua sudut. Seperti dua hati. Seperti cinta. Seperti persahabatan." (hal. 89)

Aku hanya kurang sreg pada satu hal: inkonsistensi sudut pandang. Inilah kekurangan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini juga yang digunakan pada buku ini. Seberapa tahu sih orang ketiga tersebut? Apakah (1) narator bisa membawakan narasi secara bebas dari satu sudut pandang tokoh ke sudut pandang tokoh yang lain walaupun dalam satu adegan atau (2) narator cukup tahu satu sudut pandang tokoh saja lalu berpindah ke sudut pandang tokoh yang lain dengan sebuah pembatas—seperti bab atau subbab? Aku lebih cenderung pada opini yang kedua dan aku menyebut opini pertama sebagai inkonsistensi yang berujung pada ketidakrapian penyampaian.

Aku ambil contoh paragraf terakhir pada halaman 242 yang berbunyi sebagai berikut: "Mereka setuju. Hari dan Pagi berjalan lebih dulu. Angan dan Dini mengikuti mereka dari belakang. Angan terus memerhatikan Pagi. Dini tahu Angan terus memerhatikan Pagi. Menjelang pintu masuk pertunjukan, Pagi menoleh ke arah Angan. Satu detik saja. Tetapi itu cukup buat Angan." Semua tahu bahwa ini dari sudut pandang Angan. Tapi ada kalimat Dini tahu Angan terus memerhatikan Pagi yang sebenarnya merupakan sudut pandang Dini. Ini termasuk inkonsistensi yang menurutku sedikit mengganggu. Kalau secara logika, mengingat ini dari sudut pandang Angan, bagaimana Angan tahu bahwa Dini tahu dia memerhatikan Pagi? Dini sudah tentu tidak memberi tahu Angan. Dan masih banyak beberapa lainnya yang seperti itu. Atau ini lumrah saja dan aku terlalu berlebihan berpikir?

Terlepas dari perihal sudut pandang tersebut, beruntung aku masih menikmati kisah Angan dan Pagi secara keseluruhan. Aku bahkan mengeluarkan air mata pada beberapa bagian. Beberapa bagian berarti beberapa kali mengeluarkan air mata. Itu berarti buku ini terlalu berharga untuk tidak dibaca dan maka dari itu aku banyak berterima kasih kepada rekan kerjaku yang baik hati itu. Aku merekomendasikan buku ini kepada siapa saja yang percaya bahwa perasaan cinta itu tidak terbatas, seperti simbol tak terhingga dalam matematika. Seiring berlalunya waktu, cinta sejati akan melalui jalan yang panjang dan berliku untuk sampai di muara bahagia. Buku pertama Fahd yang kubaca dan aku menyukai kisahnya, terutama karena diksinya. Dan sepertinya aku harus membeli buku ini untuk dimiliki sendiri karena aku yakin suatu hari nanti akan membacanya ulang. Lalu, apakah kisah Angan dan Pagi berakhir bahagia? Bacalah dan ingatlah satu hal: kutipan di bawah ini.

"Rasa cinta akan menemukan jalan dan muaranya masing-masing. Sekuat apa pun setiap orang menahannya, sejauh apa pun jalan yang harus ditempuh… Jika mereka ditakdirkan bersama dan saling mencintai, mereka akan bersama pada waktunya." (hal. 159)

Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Contemporary Romance.

3 komentar :

  1. orang ketiga bukannya dibagi dua jenis ya raf? kalau poin kedua jadinya sudut pandang orang ketiga pelaku utama, karena terbatas pada tokoh yang sedang dijadikan fokus pemaparan. sedangkan poin pertama menurutku memang sudut pandang orang ketiga serba tahu karena sang narator bersifat maha tahu segalanya (omniscient). cmiiw. btw, mengeluarkan air mata saat adegan mana raf? aku hanya terharu namun tak sampai menitikkan air mata.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti memang dua poin yang kusebutkan di atas itu sama-sama benar ya? cuma pemilihan sudut pandang mana yang dipakai oleh penulis. tapi aku lebih suka yang sudut pandang orang ketiga yang dijelaskan pada poin kedua. hahaha. salah satunya saat adegan yang ada di sampul itu sih, Co. dramanya realistis.

      Hapus
  2. Teman SMP saya ada yg bernama Senja tp cewek. Nama tokohnya unik2 sekali.
    Jd penasaran dgn buku ini, apalagi settingnya Semarang, kota yang cukup lama saya tinggali

    BalasHapus