17 September 2016

Ulasan Buku: Sumur Hitam

Judul : Sumur Hitam
Pengarang : Haditha
Penerbit : Diandra Kreatif
Tahun : 2016
Dibaca : 11 September 2016
Rating : ★★★

"Urip iku mung mampir ngombe. Dunia adalah tempat singgah, tempat sekolah makhluk ciptaan-Nya." (hal. 102)

Beberapa hari yang lalu, rekan kerjaku bertanya tentang buku yang sedang kubaca dan kusodorkan buku ini. Setelah dia membaca sinopsisnya, dia berkata, "Gue nggak ngerti maksudnya, apalagi isi ceritanya." Lalu dia mengembalikan buku itu. Mengesampingkan pendapatnya yang entah serius atau bercanda, buku ini memang hasil self-publishing yang mana sang penulis menyerahkan naskahnya kepada penerbit atau percetakan untuk langsung dicetak tanpa ada proses editorial.

***

Trio badung tak menyangka ulah nakal mereka membawa mereka ke situasi genting. Darto, Eko, dan Takim sedang mengintip perempuan-perempuan yang sedang mandi—dan ada Erna juga—di kali di Dusun Burujul. sampai seorang pria memergoki mereka. Hingga akhirnya mereka dibawa ke rumah Pak Kadus lalu akan dihukum congkel mata sesuai kesepakatan warga desa. Tiba-tiba seorang nenek datang untuk menyelamatkan mereka.

Darto dan kedua temannya diberikan tiga bandana yang ujar sang nenek sangat sakti. Mereka merasa terkejut dengan itu dan tidak serta-merta menyambutnya. Di rumah sang nenek yang kemudian mereka tahu bernama Nini Dhanyang Smarabumi itu mereka bertiga juga dikejutkan dengan kehadiran Erna, si gadis yang menjadi tujuan mereka mengintip di kali. Mereka bertiga harus membantu Pendekar Putih untuk memperkuat tabir yang sedang memudar. Apakah trio badung menerima misi tersebut? Karena pilihan lainnya adalah mereka hidup tanpa mata.

***

Membaca buku ini membuatku ingat dengan serial televisi Wiro Sableng yang populer pada masanya. Waktu itu aku masih kelas 3 SD dan sudah tidak ingat detail ceritanya, namun pendekar bertato 212 itu menjadi primadona kala itu. Para perempuan mengidam-idamkan Wiro Sableng untuk menjadi pasangan. Para laki-laki ingin memiliki kesaktian seperti yang dimiliki Wiro Sableng. Dan buku ini mengungkit kembali memori tentang kisah pendekar sakti yang diadaptasi dari serial novel yang pertama kali mengorbit pada 1989.

Penulis sepertinya ingin mengedepankan kisah klenik tanah air yang jarang sekali diungkap di kehidupan nyata. Mbah Nini yang diceritakan telah hidup ratusan tahun dan selalu membuat jampi-jampi sembari membakar kemenyan itu menjadi bukti. Juga kisah sumur hitam yang bisa berpindah-pindah dan menjadi musabab kematian warga desa. Berbagai macam jenis makhluk halus dan siluman juga disebutkan pada buku ini. Hal-hal di luar nalar manusia yang sebagian di antara mereka masih memercayainya karena ketaatan mereka pada leluhur dan adat-istiadat. Inilah latar yang membuat cerita menarik.
Ide cerita tentang sumur hitam pun tak kalah menarik. Bahwa ternyata ada juga sumur putih yang masing-masing sumur tersebut dijaga oleh pendekar; pendekar putih dan pendekar hitam. Pendekar putih bertugas menyeimbangkan alam dengan menyingkirkan keserakahan pendekar hitam yang ingin menghancurkan dunia dengan dibantu Raja Siluman. Tugas Darto, Eko, dan Takim adalah membantu pendekar putih dengan tiga bandana yang diterima mereka dari Mbah Nini. Alur yang dilambatkan di awal dan keseruan di akhir, ditata rapi oleh penulis. Karakter di dalamnya pun penuh lawak.

Namun lagi-lagi, yang membuat tidak nyaman adalah naskahnya yang masih terlalu kasar. Seperti tata bahasanya yang masih ngalor-ngidul dan penggunaan Bahasa Jawa yang tidak konsisten. Aku bertanya-tanya jika saja naskah ini dipegang oleh seorang penyunting andal, hasilnya pasti bakal melegenda layaknya karya Bastian Tito. Hal itu juga yang membuat banyak detail yang bolong-bolong sehingga pembaca harus mengernyitkan dahi karena bingung.

Aku sempat bertanya kepada penulis tentang pilihannya untuk menerbitkan buku ini melalui jalur self-publishing. Jawaban yang kuterima mungkin sama dengan ribuan penulis buku self-publishing, ia merasa naskahnya tidak layak diterbitkan melalui penerbit mayor. Juga alasan lain seperti terbit lebih cepat tanpa proses seleksi. Ah, sepertinya aku harus membuat satu pos artikel tersendiri untuk membahas topik ini.

Secara keseluruhan, mengenyampingkan editorialnya yang masih bisa diampuni, buku ini bisa menjadi referensi untuk kisah-kisah anti-mainstream. Buku ini adalah sebuah lelucon nakal berisi petualangan mistik nan klenik. Dan sejujurnya, aku salut dan sedikit iri dengan penulis yang masih terus produktif dengan ide-ide brilian yang disalurkannya melalui karya. Beberapa karyanya sudah diterbitkan oleh penerbit, seperti "Anak Pohon" yang kisahnya masih berhubungan dengan buku ini. Sebagian lagi ia tayangkan secara gratis melalui akun Wattpad-nya, cari saja dengan kata kunci "Haditha_M". Terus berkarya ya, Mas!

"Eling lan waspada." (hal. 182)

Ulasan ini untuk tantangan FSFD Reading Challenge 2016 kategori [3] After 2010.

7 komentar :

  1. WOW, masih ada yang berani membuat novel dengan cerita mistik? Prestasi buat penulis. Soalnya tidak tergerus pasar. Hehehe. Untuk kovernya, saya tidak suka. Terlalu dipaksakan menyeramkan.

    BalasHapus
  2. Legenda Aji Saka Raaf... ketinggalan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya. Legenda Aji Saka yang tentang Aksara Jawa ya.

      Hapus
  3. Aku kira ini kisah horor... ternyata ada unsur pendekar dan dunia persilatannya ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba.. lebih ke supranatural adventure...

      Hapus
  4. Keren lah kalau masih ada yang peduli dengan mistik lokal. Sebenarnya klenik itu pembicaraan menarik. Referensi novel genre supranatural khususnya yang bertema klenik masih jarang di Indonesia, padahal aslinya perklenikan itu sudah ada sejak zaman dulu bahkan hingga sekarang. Mungkin karena praktiknya terselubung kali ya, jadi kalau mau nulis tema ini cari data nya agak susah he he...

    BalasHapus