07 Januari 2016

Ulasan Buku: Girl Meets Boy

Sampul
Judul : Girl Meets Boy
Pengarang : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tahun : 2015
Dibaca : 5 Januari 2016
Rating : ★★★★

"Mungkin mereka tak lebih dari sekadar dua orang yang berpapasan dalam hidup, hanya untuk menyembuhkan luka masing-masing, kemudian berjalan ke arah berlawanan." (hal. 357)

Buku ini aku baca setelah aku meminta teman untuk memilihkan buku yang tepat untuk Lucky No.15 Reading Challenge kategori Randomly Picked. Walaupun memerlukan sedikit lama, tidak ada penyesalan sedikit pun seusai aku membacanya. Tema musik yang diusung menjadi salah satu poin penting yang membuatku menyelesaikan buku ini.

***

Ava Tirtadirga masih belum bisa melepaskan kepergian sang kakak. Seakan, bayang-bayang kakak perempuannya itu selalu membuntutinya ke mana pun. Apalagi setelah Ava masuk ke sekolah musik yang menjadi tempat belajar kakaknya juga. Murid senior bertanya-tanya apakah Ava semenyenangkan dan secerdas sang kakak.

Hingga suatu hari Ava bertemu dengan Kai. Cowok populer yang merupakan cucu dari pendiri sekolah tempat Ava menuntut ilmu itu sangat digandrungi para wanita. Kai juga seorang playboy yang selalu bergonta-ganti cewek. Ava melihat ada kehilangan dalam diri Kai yang sama-sama dirasakan. Siapakah Kai sebenarnya? Adakah hubungan di antara cowok itu dengan Rae, kakaknya?

***

Satu hal yang ada dalam pikiranku seusai membaca adalah tentang kehilangan. Bagaimana kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Kehilangan adalah lumrah dan harus dijaga karena mengingatkan kita akan kehidupan. Kehilangan membuat kita terus bergerak maju dengan sesekali melihat ke belakang untuk lebih hati-hati dalam bertindak.

"Hidup bukan seperti itu. Hidup bukan tentang siapa yang menang, sebisa mungkin menghindari luka supaya nggak merasa sakit. Hidup adalah merasakan setiap luka yang datang, supaya kita bisa melewatinya, supaya kita bisa belajar untuk sembuh." (hal. 349)

Aku suka bagaimana Winna selalu membuat gaya ceritanya terlihat bagus. Diksi yang indah mungkin sudah termaktub dalam setiap karyanya. Tidak hanya membuatkupembaca yang sedikit skeptis dengan kisah romens—nyaman membaca, tetapi juga memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan. Bagaimana Ava menyikapi orang-orang di sekitarnya akan bayang-bayang Rae. Bagaimana Kai berhadapan dengan tekanan sang kakek dan bergulat dengan masa lalunya. Bagaimana Ava dan Kai sama-sama berusaha membuka hati sedikit demi sedikit.

Aku sempat bertanya-tanya bagaimana Winna membuat tema musiknya begitu hidup. Sekolah tempat Ava bertemu Kai tentu saja tidak nyata, tetapi Winna membuatnya seperti benar-benar ada. Juga tentang Ava yang diterima di Juilliard, salah satu sekolah musik bergengsi di Amerika Serikat. Dan jangan lupakan The Manic Misfits, grup band yang Ava menjadi vokalisnya. Deskripsi yang kuat menjadi satu poin tambahan untuk karya Winna.

Alice Tully Hall pada bangunan Juilliard School
Sayangnya, ada sedikit kejanggalan yang terjadi pada halaman 121. Dalam diary-nya yang tertanggal 17 Oktober 2013, Rae menulis dia bersama teman-temannya menyanyikan "Shake It Off"-nya Taylor Swift. Padahal, lagu tersebut baru rilis pada Agustus 2014. Detail kecil seperti inilah yang harus benar-benar diperhatikan. Aku sungguh menyayangkannya.

Terlepas dari itu, aku bertanya sesuatu padamu: pernahkah kamu merasa kehilangan dan ingin menyikapinya dengan bijak? Kisah Ava dan Kai ini bisa jadi pembelajaran yang menyenangkan. Selamat menjadi penggemar baru The Manic Misfits!

"Heh, siapa yang tahu siapa orang yang tepat buat kami? The universe works in crazy ways yang bahkan gue sendiri nggak mengerti. Yang perlu lo lakukan hanya percaya." (hal. 101)

Dan, oh ya, menurut akun GagasMedia, Winna Efendi berulang tahun kemarin, tepatnya 6 Januari. Doaku hanya satu, jadilah penulis yang tidak lelah akan pujian dan kritikan, dan teruslah berkarya!
Ulasan ini untuk tantangan:
1. Lucky No.15 Reading Challenge kategori Randomly Picked
2. Young Adult Reading Challenge 2016

Tidak ada komentar :

Posting Komentar